Situs Menggung Desa Nglurah


Situs Menggung. Adalah petilasan yang dulunya berupa Altar dengan arca-arca disekitarnya, tapi kini arca-arca peninggalan sejarah itu telah banyak yang hilang. Situs Menggung berada di Desa Nglurah yang merupakan Sentra Industri Tanaman Hias di Kecamatan Tawangmangu. Untuk menuju lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan maupun berjalan kaki 2 km dari terminal bus Tawangmangu. Berbagai nama jenis tanaman hias dari yang hanya seharga 1000 rupiah per batang sampai yang ratusan juta rupiah dapat kita jumpai di perkampungan ini dengan jumlah yang sangat besar, dimana hampir setiap rumah tangga memiliki kebun pemberdayaan tanaman hias.

Seunik candi lainnya di Gunung Lawu yang berbetuk punden berundak. Situs Menggung terdiri atas tiga teras. Di teras pertama kita hanya akan menemukan empat buah patung dwarapala yang menjaga tangga menuju teras kedua. Selain sudah aus, patung dwarapala ini sendiri unik karena salah satu patungnya dipahat dua arah, depan dan belakang, persis seperti arca di Candi Ceto.


Teras kedua sangat luas. Disini terdapat bebatuan yang ditumpuk – tumpuk dan membentuk bidang persegi di beberapa tempat. Pada bidang persegi tersebut terlihat beberapa batu dengan bagian atas yang datar seperti umpak, itu berarti dulu terdapat rumah panggung di situs ini, seperti di Candi Ceto. Lanjut menuju teras ketiga, sebelumnya kita akan menjumpai sepasang arca dwarapala di kaki tangga. Di teras ketiga terdapat pohon yang teramat sangat besar yang ditutupi kain bermotif kotak dan kain kuning. Diatara akarnya yang besar kita dapat melihat sebuah arca kecil yang sudah rusak.

Di ujung teratas teras ketiga terdapat sebuah tembok yang mengelilingi dua arca yang menjadi pusat Situs Menggung ini. Kedua arca dalam tembok ini yang bisa dibilang paling utuh dibanding arca lainnya di Situs ini. Arca yang lebih pendek dikenal dengan sebutan Kyai Menggung dan arca yang paling tinggi [juga merupakan arca tertinggi di Situs ini] disebut Nyi Rasa Putih. Di bawah arca Nyi Rasa Putih terdapat sebuah batu yang memuat satu – satunya relief di situs ini. Tak diketahui makna relief ini karena hanya sepotong saja.

Satu – satunya petunjuk yang menandakan kalau situs ini merupakan peninggalan Hindu adalah adanya yoni yang terbalik di pelataran teras dua. Yoni di situs ini sendiri sangat unik karena bentuknya bulat. Tak ada papan informasi di situs ini, bahkan pos penjaga di bawah situs kosong melompong. Tak ayal, internet merupakan satu – satunya sarana untuk menggali informasi tentang situs ini. Kata Menggung didapat dari Kyai Menggung yang diyakini merupakan julukan Narotama, putra Bali yang jadi pengikut Raja Airlangga. Dia mengembara ke Nglurah untuk mendekatkan diri ke Hyang Widhi. Dari perbuatannya ini, kata Menggungpun didapat yang berarti  “melengake marang Gusti Kang Maha Agung” (memusatkan segala perhatian kepada Tuhan Yang Maha Agung).

Desa Nglurah merupakan sentra tanaman hias di Kecamatan Tawangmangu, dikelilingi oleh perbukitan kaki Gunung Lawu. Hampir disetiap rumah penduduk dapat kita jumpai aneka jenis tanaman hias baik yang sudah dikemas dengan pot/polyback maupun yang masih tertanam di tanah. Memproduksi tanaman hias memang telah menjadi sumber pendapatan bagi warga desa ini selain dari pekerjaan lain dan hasil dari bercocok tanam. Bahkan hasil produksi tanaman hiasnya telah merambah pasar manca negara seperti Malaysia dan Singapura. 

Ada sebuah tradisi yang unik dari desa ini, mereka menyebutnya Ritual Dukutan (bersih desa). Prosesi ritual ini telah dilakukan secara turun temurun sejak puluhan tahun silam di areal situs candi menggung, setiap tujuh bulan wuku dukut. Dukutan diselenggarakan untuk memperingati wiyosan Eyang Menggung dan Eyang Roso Putih ditandai dengan penjamasan atau penyucian pakaian kerajaan lengkap milik mereka. Berdasarkan sejarah, pakaian itersebut adalah  paringan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. 

Menurut masyarakat setempat tradisi ini merupakan salah satu dari ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala kenikmatan, kesehatan, keselamatan, dan ketenteraman, serta bertujuan untuk mensucikan diri dari pengaruh nafsu duniawi yang negatif agar diri manusia kembali menjadi suci, berangkat dari legenda cinta dua orang sakti yaitu Norotomo dan Nyai Roso Putih yang terlibat perseteruan di desa tersebut jaman dulu. Namun setelah perkelahian demi perkelahian mereka lakukan, akhirnya mereka justru saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Lantas eduanya diangkat sebagai pepunden (pemimpin Desa Nglurah kala itu.
Kejadian diatas lantas ditiru dalam adegan pada prosesi ritual. Dengan dandanan ala Warok Ponorogo, warga masyarakat Nglurah lor dan Nglurah kidul saling berhadapan di tempat yang ditentukan. Bermula dari ejekan dan hinaan yang saling dilontarkan oleh kedua pasukan hingga keduanya tidak bisa lagi mengendalikan emosi. Di tangan mereka telah siap keranjang sesaji berisi makanan yang sedianya akan dibagikan kepada warga. Tapi, entah siapa yang memulai provokasi, keranjang berisi makanan itu justru dijadikan senjata untuk menciptakan kerusuhan. Kekisruhan pun tak bisa dihindari.  

Warga dua dusun yang berbeda itu akhirnya terlibat tawuran. Mereka saling melemparkan sesaji berikut perkakasnya, seperti bambu, kayu atau apapun yang saat itu berada di dekat mereka kepada musuh yang ada dihadapannya. Tak pelak, tubuh, kepala dan wajah mereka pun bengkak dan lebam akibat terkena lemparan. 
video dukutan di SCTV
Ritual ini dilakukan sebagai rangkaian upacara ritual bersih desa yang disebut Tawur Dukutan. Selesai upacara adat, warga mengumpulkan sesaji berupa makanan yang terbuat dari jagung dan dibagi-bagikan kesemua warga. Sesaji itu diyakini akan mendatangkan berkah bagi mereka yang membawa dan menikmatinya.

Referensi copy dari berbagai sumber dan www.karanganyarkab.go.id/20110921/situs-menggung

Candi Cetho & Sekitarnya


Candi Cetho (ejaan bahasa Jawa: cethÃ¥) merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. 


Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut. Sampai saat ini, komplek candi digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/Kejawen.

Berdasarkan  kondisi saat reruntuhan mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang hampir sama dengan usia Candi Sukuh. Jalan menuju ke Candi Cetho saat ini telah diperbaiki namun medan yang berat dan menanjak masih cukup memberatkan bagi kendaraan yang menuju kesana. Melalui jalan yang berkelok-kelok diantara hijaunya kebun teh yang luas membentang menjadi keasyikan tersendiri saat perjalanan sambil menikmati indahnya panorama kaki Gunung Lawu.

Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras membuat munculnya dugaan akan kebangkitan kembali kultur asli ("punden berundak") pada masa itu, yang disintesis dengan agama Hindu. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit, yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh. Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga.

Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada akhir 1970-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah di muka, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung Sabdapalon, Naya genggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi. 
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. 

Memasuki trap pertama berupa halaman candi yang berada pada posisi paling luar. Dari halaman candi ini kita bisa melihat panorama indah dengan pandangan lepas kearah matahari tenggelam. 

Pada trap kedua kita akan menjumpai petilasan Ki Ageng Krincing Wesi yang merupakan leluhur masyarakat Dusun Cetho. Pada trap yang ketiga dapat kita jumpai  tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern.


Pada trap selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada trap ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.

Pada trap kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). 


Tak jauh dari komplek Candi Cetho, bisa melewati pintu pagar disamping atau lewat jalan diluar komplek candi, melewati lereng yang agak terjal, kearah timur laut terdapat lagi sebuah kompleks bangunan candi yang juga berteras-teras. Oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Candi Kethek yang dalam bahasa jawa "Kethek" artinya "Kera", disebut Candi Kethek karena konon dulu pernah ditemukan patung Hanoman dilokasi itu walaupun disekitar candi tak sekalipun ditemukan kerumunan monyet. Ditiap tangga teras dulunya terdapat patung kura-kura namun sekarang telah hilang entah dimana. Candi Kethek pernah diteliti oleh arkeolog dari belanda Verbeek, Van Der Vlis dan Hoepermans tahun 1842. Selanjutnya tahun 1982 candi ini pernah dipugar oleh Soedjono Hoemardani asisten Presiden Soeharto, yang juga memugar Candi Cetho.

Selain Candi Kethek, diluar komplek Candi Cetho juga dapat ditemui sebuah Pura bernama Puri Taman Saraswati yang terasa hening dan senyap suasananya. Pura ini diresmikan pada tanggal 28 Mei 2004 oleh Bupati Karanganyar, Hj. Rina Iriani S. Pd. M. Hum bersama Bupati Gianyar A. A. Gede Agung Bharata. Peresmian tersebut merupakan ikatan tali persaudaraan antara masyarakat Dukuh Cetho dengan masyarakat Gianyar - Bali, yang memiliki persamaan spiritual keagamaan. Sehingga tiap 210 hari kerap digelar pertunjukan seni tradisional Jawa dan Bali yang rata-rata beragama Hindu. Teras utama Puri Dewi Saraswati terdapat altar pemujaan dengan patung Dewi Saraswati ditengahnya. Beberapa sesaji da kelengkapan lainnya tampak menghiasi dibagian depan altar. Di dalam komplek Puri Saraswati juga terdapat sebuah kolam yang diberi nama Sendang Pundi Sari, sebagai tempat untuk bersuci sebelum menjalani ritual keagamaan, bersebelahan dengan bangunan untuk sembahyang.

Untuk dapat mencapai komplek Candi Cetho dan candi-lain diseitarnya kita akan melewati jalanan berkelok diantara perkebunan teh Kemuning, dengan pemandangan lepas disekitarnya yang indah bagai hamparan karpet hijau saat musim semi. Namun bila habis masa panen daun teh, lokasi ini akan terlihat seakan bukit gundul yg tidak berpohon. Pengunjung dapat menggunakan kendaraan pribadi setelah melewati pertigaan dari Candi Sukuh. Dapat juga bila pengunjung dari arah Kabupaten Sragen dapat ditempuh lewat Batu Jamus menuju arah timur. Selain pemandangan indah diujung timur kebun teh terdapat sarana olah raga Ganthole (Layang Gantung) juga air terjun Jumog di Desa Berjo dan Air Terjun Parang Ijo di Desa Girimulyo yang tak kalah menarik untuk dikunjungi. Selamat berwisata bersama keluarga.

Referensi dari berbagai sumber dan http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Ceto

Wisata Puncak Lawu

Kabut tebal di perbatasan Cemoro Sewu - Cemoro Kandang
tepat dibawah aliran kawah Gunung Lawu. 

Apakah kamu-kamu suka mendaki gunung? Tapi yang ini lain karena puncak Lawu bisa ditempuh dengan menunggang kuda atau dengan sepeda motor trail bila masuk lewat pintu Cemoro Kandang.  Penulis pernah beberapa kali naik ke puncak dengan 3-4 jam perjalanan pada malam hari,tentu saja nggak pake banyak istirahat, klo terlalu sering istirahat waktu tempuh bisa jauh lebih lama bahkan bisa mencapai 4-7 jam perjalanan. 

Gunung Lawu memiliki dua buah Kawah yaitu Kawah Telaga Kuning dan Kawah Telaga Lembung Selayur, juga terdapat tempat-tempat keramat di sekitarnya, diantaranya Sendang Panguripan, Sumur Jolo Tundo, Gua Sigolo-golo, Sendang Drajad, Sendang Macan, Hargo Tumiling, Pasar Dieng, Hargo Dalem, dan Hargo Dumilah. Segarnya udara pegunungan dan indahnya matahari terbit dipuncak lawu menjadikan kekaguman tersendiri bagi pendaki. Puji syukur kepada sang Kholiq akan kebesaran-Nya, ada rasa yang beda saat berada dipuncak Lawu. Manusia tak ubahnya seperti sebuah titik ditengah luasnya bumi ini.
Dalam pendakian dari Cemoro sewu menuju puncak, kita akan menjumpai 4 buah pondok sebagai pos penjagaan, yaitu pada ketinggian 2.100 m, 2.300 m, 2.500 m dan 2.800 m sebelum akhirnya tiba di Pesanggrahan Hargo Dalem pada ketinggian 3.170 m dan puncak lawu (Hargo Dumilah) pada ketinggian 3.265 meter dari permukaan air laut.



Dari pintu masuk Cemoro Kandang menuju Pos 1 (Taman Sari Bawah) jalanan agak landai berupa tanah yang akan licin bila hujan turun. Sebelum sampai pos 1 terdapat jalan kecil menuju air terjun di bawah kawah. Dari sini bau belerang sudah mulai tercium. Menuju Pos 2 (Taman Sari Atas) jalanan sedikit lebih curam dari sini pendaki bisa melihat asap mengepul dari kawah Gunung Lawu yang berada tepat dibawah belahan bukit Cokro Suryo dan bagian bukit sebelah timur. 

Dari pos 2 kita akan melewati jalanan yang agak sempit berliku menyisir tebing, disisi lain ada jurang pengarep-arep yang dalam. Disini sering terjadi musibah yang menimpa pendaki saat kabut tebal menutup pandangan. Sepanjang jalur ini memang agak licin dan sering terjadi longsoran karena kondisi jalanan yang menempel di dinding tebing hingga sampai di pos 3. Dari Pos 3 kita akan melewati jalanan yang terjal, di jalur ini pula ada sebuah tempat yang dikeramatkan berupa sumber mata air yang bernama Sendang Panguripan dengan airnya yang jernih dan sejuk dapat diminum langsung tanpa harus takut sakit perut. Bunga edelweiss juga dapat kita jumpai di sela-sela rerumputan dan pepohonan. Dari pos 4 menuju ke puncak jalanan agak mendatar, sedikit menurun, dan ada yang sedikit mendaki, pemandangan indah di atas Tawangmangu akan terlihat di sepanjang jalan ini, dengan menggunakan teropong kita dapat melihat kota Solo dan sekitarnya. Padang rumput, tanaman edelweis, dan megahnya puncak Cokro Suryo terlihat jelas dari pandangan. Selanjutnya perjalana berlanjut ke sasono pertapan Hargo Dalem atau dapat langsung berbelok menuju Puncak Hargo Dumilah sebagai titik tertinggi di Gunung Lawu.

Dari puncak tertinggi Hargo Dumilah kita dapat melihat pemandangan luas mengelilingi bukit. Tampak padang rumput yang amat luas membentang dengan Sumur Jolo Tundo ditengahnya sedalam 5 meter bergaris tengah 3 meter. Sumur ini biasa digunakan untuk bersemedi dan dijadikan tempat oleh guru-guru spiritual mengajarkan ilmunya. Tampak pula dari puncak Hargo Dumilah bagian puncak bukit lain yang lebih rendah seperti Hargo Tumiling dan puncak Cokro Suryo. Menuruni puncak Hargo Dumilah kita bisa menuju ke lokasi lain di sekitarnya seperti mata air Sendang Drajad yang berupa sumur kecil bergaris tengah 2 meter dan memiliki kedalaman 1,5 meter. Meskipun berada di puncak gunung mata air ini tidak pernah kering walaupun diambil terus menerus. Selain sendang drajat ada juga mata air Sendang Macan, tetapi jaraknya sangat jauh dan jalannya menurun menuju arah utara, sehingga jarang didatangi orang.

Dibagian lain di bawah puncak terdapat sebuah bangunan disebut Hargo Dalem untuk berjiarah, disinilah tempat yang dipercaya sebagai kediaman Eyang Sunan Lawu. Hargo dalem merupakan tempat bertahta raja terakhir Majapahit memerintah kerajaan Makhluk halus. Tempat ini berupa makam kuno tempat mukswa Sang Prabu Brawijaya. Menurut para pejiarah, mereka yang datang wajib melakukan upacara ritual (pisowanan) sebanyak tujuh kali untuk dapat melihat penampakan Eyang Sunan Lawu, walaupun terkadang sudah dapat melihatnya sebelum melakukan tujuh kali pendakian.

Yang unik dari puncak Gunung Lawu adalah keberadan warung makan di bawah puncaknya dengan bangunan yang lumayan. Pendaki dapat melepas lelah, makan, minum dan tiduran di warung tersebut, berbeda dengan puncak gunung lain di dunia. Inilah keunikan Gunung Lawu dengan ketinggian 3.268 meter.

Tak jauh dari Hargo Dalem kita akan menjumpai Pasar Diyeng atau Pasar Setan, berupa sekumpulan batu yang berblok-blok tertata rapi layaknya sebuah komplek, pasar ini hanya dapat dilihat secara gaib. Pasar Diyeng akan memberikan berkah bagi para pejiarah yang percaya. Bila berada ditempat ini kemudian secara tiba-tiba kita mendengar suara "mau beli apa dik?" maka segeralah membuang uang terserah dalam jumlah berapapun, lalu petiklah daun atau rumput seolah-olah kita berbelanja, maka sekonyong-konyong kita akan memperoleh kembalian uang dalam jumlah yang sangat banyak. Benarkah? silahkan coba sendiri..!! inyong wis nyoba tapi koq gk bener ya cerita orang diatas hehehe,,,

Sumber lain menyebutkan bahwa Gunung Lawu menyimpan misteri pada masing-masing dari tiga puncak utamanya dan menjadi tempat yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.

Konon gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan berhubungan erat dengan tradisi dan budaya Praja Mangkunegaran. Setiap orang yang hendak pergi ke puncaknya harus memahami berbagai larangan tidak tertulis untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas. Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani.

Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M) pada masa pemerintahan Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Raden Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong. Raden Fatah setelah dewasa beragama Islam berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak).
Melihat kondisi yang demikian itu , masygulah hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya didapatkannya wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak.

Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Merekapun pergi bersama ke puncak Harga Dalem.

Saat itu Sang Prabu bertitah, "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.

Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini. Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.


referensi dari berbagai sumber dan http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Lawu

Candi Sukuh


Candi Sukuh berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, 27 Km arah timur dari kota Karanganyar, terletak pada ketinggian 910 meter diatas permukaan air laut. Menurut cerita sejarah, candi sukuh dibangun sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Candi ini ditemukan pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. 

Kala itu Johnson ditugaskan oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data untuk bahan penulisan bukunya “The History of Java”. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, tahun 1842 Van der Vlis yang berwarganegara Belanda kembali melakukan penelitian dan melakukan pemugaran candi pada tahun 1928. Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu sesungguhnya merupakan candi yang sangat menarik untuk dikunjungai selain bentuk fisik dan ornament-ornamennya yang memukau tetapi juga posisi yang pas untuk melihat pemandangan indah disekitarnya dengan udara yang sejuk Pegunungan Lawu. Masyarakat setempat kadang menyebut Candi Sukuh sebagai Candi Rusuh (saru atau tabu) mengingat relief-relief pada dindingnya menggambarkan secara vulgar organ pria dan wanita.

Candi Sukuh dibangun dalam tiga teras. Teras yang pertama terdapat gapura utama dengan ornamen sebuah candrasangkala yang berbunyi gapura buto abara wong, artinya “Raksasa memangsa manusia”. Kata-kata dari relief ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik menjadi tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati).

Pada teras kedua juga dijumpai gapura yang kondisinya sudah tidak beraturan. Bagian kanan dan kiri terdapat patung penjaga pintu atau disebut dwarapala. Pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata dari relief ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1, jika dibalik bermakna tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.

Pada teras ketiga Candi Sukuh terdapat pelataran besar dengan sebuah candi induk dan beberapa patung di sebelah kanan serta beberapa relief di sebelah kirinya. Bila kita menaiki anak tangga pada lorong gapura, kita akan disuguhi relief yang sangat vulgar terpahat di lantainya yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. 

Konon, laki-laki yang ingin menguji apakah kekasihnya masih perawan atau tidak, dapat datang ke tempat ini, dengan cara meminta si wanita melompati relief tersebut. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas, itu hanya mitos belaka. Namun yang sebenarnya silahkan mencoba sendiri. Di atas candi induk bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang mungkin merupakan tempat menaruh sesajian.  Dari bagian atas bangunan induk ini kita bisa melihat pemandangan lepas ke sekitar areal candi.


Di bagian kiri teras terdapat relief melukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.


Pada relief berikutnya terdapat pahatan gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi raksasa wanita yang berwajah mengerikan. Dua raksasa mengerikan yang lain: Kalantaka dan Kalanjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalanjaya adalah jelmaan anak dewa yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.


Relief selanjutnya terdapat pahatan yang menggambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.


Pahatan batu berikutnya berupa cerita adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.


Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta. 


Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.

Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.

Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.

Untuk dapat mencapai komplek Candi Sukuh, pengunjung dapat menggunakan kendaraan pribadi hingga sampai di halaman parkir candi.     Tetapi jika pengunjung menumpang angkutan umum berupa minibus dari Terminal Karangpandan, maka harus dengan sabar berjalan kaki menanjak sejauh +/-600meter. Atau dengan menumpang ojek yang ada di jalur utama menuju komplek candi.

Khusus pengunjung yang melewati Air Terjun Tawangmangu dapat menempuh perjalanan dengan kuda sewaan, melewati lahan pertanian dan perbukitan gunung Lawu yang indah pemandangannya, walaupun dapat juga dengan menumpang ojek dari pintu 2 Air Terjun maupun Terminal Tawangmangu. Selamat Berwisata.

referensi dari berbagai sumber dan http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Sukuh

Entri Populer