Situs Menggung. Adalah petilasan yang dulunya berupa Altar dengan arca-arca disekitarnya, tapi kini arca-arca peninggalan sejarah itu telah banyak yang hilang. Situs Menggung berada di Desa Nglurah yang merupakan Sentra Industri Tanaman Hias di Kecamatan Tawangmangu. Untuk menuju lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan maupun berjalan kaki 2 km dari terminal bus Tawangmangu. Berbagai nama jenis tanaman hias dari yang hanya seharga 1000 rupiah per batang sampai yang ratusan juta rupiah dapat kita jumpai di perkampungan ini dengan jumlah yang sangat besar, dimana hampir setiap rumah tangga memiliki kebun pemberdayaan tanaman hias.
Seunik candi lainnya di Gunung Lawu yang berbetuk punden berundak. Situs Menggung terdiri atas tiga teras. Di teras pertama kita hanya akan menemukan empat buah patung dwarapala yang menjaga tangga menuju teras kedua. Selain sudah aus, patung dwarapala ini sendiri unik karena salah satu patungnya dipahat dua arah, depan dan belakang, persis seperti arca di Candi Ceto.
Teras kedua sangat luas. Disini terdapat bebatuan yang ditumpuk – tumpuk dan membentuk bidang persegi di beberapa tempat. Pada bidang persegi tersebut terlihat beberapa batu dengan bagian atas yang datar seperti umpak, itu berarti dulu terdapat rumah panggung di situs ini, seperti di Candi Ceto. Lanjut menuju teras ketiga, sebelumnya kita akan menjumpai sepasang arca dwarapala di kaki tangga. Di teras ketiga terdapat pohon yang teramat sangat besar yang ditutupi kain bermotif kotak dan kain kuning. Diatara akarnya yang besar kita dapat melihat sebuah arca kecil yang sudah rusak.
Di ujung teratas teras ketiga terdapat sebuah tembok yang mengelilingi dua arca yang menjadi pusat Situs Menggung ini. Kedua arca dalam tembok ini yang bisa dibilang paling utuh dibanding arca lainnya di Situs ini. Arca yang lebih pendek dikenal dengan sebutan Kyai Menggung dan arca yang paling tinggi [juga merupakan arca tertinggi di Situs ini] disebut Nyi Rasa Putih. Di bawah arca Nyi Rasa Putih terdapat sebuah batu yang memuat satu – satunya relief di situs ini. Tak diketahui makna relief ini karena hanya sepotong saja.
Satu – satunya petunjuk yang menandakan kalau situs ini merupakan peninggalan Hindu adalah adanya yoni yang terbalik di pelataran teras dua. Yoni di situs ini sendiri sangat unik karena bentuknya bulat. Tak ada papan informasi di situs ini, bahkan pos penjaga di bawah situs kosong melompong. Tak ayal, internet merupakan satu – satunya sarana untuk menggali informasi tentang situs ini. Kata Menggung didapat dari Kyai Menggung yang diyakini merupakan julukan Narotama, putra Bali yang jadi pengikut Raja Airlangga. Dia mengembara ke Nglurah untuk mendekatkan diri ke Hyang Widhi. Dari perbuatannya ini, kata Menggungpun didapat yang berarti “melengake marang Gusti Kang Maha Agung” (memusatkan segala perhatian kepada Tuhan Yang Maha Agung).
Desa Nglurah merupakan sentra tanaman hias di Kecamatan Tawangmangu, dikelilingi oleh perbukitan kaki Gunung Lawu. Hampir disetiap rumah penduduk dapat kita jumpai aneka jenis tanaman hias baik yang sudah dikemas dengan pot/polyback maupun yang masih tertanam di tanah. Memproduksi tanaman hias memang telah menjadi sumber pendapatan bagi warga desa ini selain dari pekerjaan lain dan hasil dari bercocok tanam. Bahkan hasil produksi tanaman hiasnya telah merambah pasar manca negara seperti Malaysia dan Singapura.
Ada sebuah tradisi yang unik dari desa ini, mereka menyebutnya Ritual Dukutan (bersih desa). Prosesi ritual ini telah dilakukan secara turun temurun sejak puluhan tahun silam di areal situs candi menggung, setiap tujuh bulan wuku dukut. Dukutan diselenggarakan untuk memperingati wiyosan Eyang Menggung dan Eyang Roso Putih ditandai dengan penjamasan atau penyucian pakaian kerajaan lengkap milik mereka. Berdasarkan sejarah, pakaian itersebut adalah paringan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Menurut masyarakat setempat tradisi ini merupakan salah satu dari ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala kenikmatan, kesehatan, keselamatan, dan ketenteraman, serta bertujuan untuk mensucikan diri dari pengaruh nafsu duniawi yang negatif agar diri manusia kembali menjadi suci, berangkat dari legenda cinta dua orang sakti yaitu Norotomo dan Nyai Roso Putih yang terlibat perseteruan di desa tersebut jaman dulu. Namun setelah perkelahian demi perkelahian mereka lakukan, akhirnya mereka justru saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Lantas eduanya diangkat sebagai pepunden (pemimpin Desa Nglurah kala itu.
Kejadian diatas lantas ditiru dalam adegan pada prosesi ritual. Dengan dandanan ala Warok Ponorogo, warga masyarakat Nglurah lor dan Nglurah kidul saling berhadapan di tempat yang ditentukan. Bermula dari ejekan dan hinaan yang saling dilontarkan oleh kedua pasukan hingga keduanya tidak bisa lagi mengendalikan emosi. Di tangan mereka telah siap keranjang sesaji berisi makanan yang sedianya akan dibagikan kepada warga. Tapi, entah siapa yang memulai provokasi, keranjang berisi makanan itu justru dijadikan senjata untuk menciptakan kerusuhan. Kekisruhan pun tak bisa dihindari.
Warga dua dusun yang berbeda itu akhirnya terlibat tawuran. Mereka saling melemparkan sesaji berikut perkakasnya, seperti bambu, kayu atau apapun yang saat itu berada di dekat mereka kepada musuh yang ada dihadapannya. Tak pelak, tubuh, kepala dan wajah mereka pun bengkak dan lebam akibat terkena lemparan.
video dukutan di SCTV
Ritual ini dilakukan sebagai rangkaian upacara ritual bersih desa yang disebut Tawur Dukutan. Selesai upacara adat, warga mengumpulkan sesaji berupa makanan yang terbuat dari jagung dan dibagi-bagikan kesemua warga. Sesaji itu diyakini akan mendatangkan berkah bagi mereka yang membawa dan menikmatinya.
Referensi copy dari berbagai sumber dan www.karanganyarkab.go.id/20110921/situs-menggung